By: Ahsan Hakim
Betapa menggegerkan, St. Albertus Magnus mendefinisikan perempuan sebagai laki-laki yang cacat sejak lahirnya, katanya. Sementara St. Jerome menganggap wanita sebagai akar dari segala kejahatan (the root of all evil). Pernyataan itu kemudian diperkuat oleh penilaian St. John Chrysostom. Ia berseloroh, “Tidak ada gunanya laki-laki menikah. Toh, perempuan itu tidak lain dan tidak lebih merupakan lawan dari persahabatan, hukuman yang tak terelakkan, kejahatan yang diperlukan, godaan alami, musuh dalam selimut, gangguan yang menyenangkan, ketimpangan tabiat, yang dipoles dengan warna yang indah.” Sehingga dengan demikian, St. Augustine menimpali, hubungan intim seorang suami dengan istrinya adalah perbuatan kotor.
Apa nggak keseleg?
Tak dapat dipungkiri bahwa kasus-kasus semisal itulah yang kemudian memunculkan gerakan feminis di Barat. Keberadaan gerakan itu merupakan respon dan reaksi terhadap situasi dan kondisi kehidupan masyarakat di sana, yang memandang ‘sebelah mata’ (misogyny) dan berbagai macam anggapan buruk (stereotype) terhadap wanita. Penyamaan citra antara wanita dengan budak (hamba sahaya) setidaknya sudah terjadi sejak zaman pra-Kristen, di antara tokoh-tokohnya adalah Plato dan Aristoteles. Kemudian di Abad Pertengahan terdapat nama St. Clement dari Alexandria, St. Agustinus dan St. Thomas Aquinas. Disusul abad modern dikenal tokoh-tokoh seperti John Locke, Rousseau hingga Nietzsche.
Merespon hal itu, muncullah Mary Wollstonecraft (1759-1797). Ia disebut-sebut sebagai nenek moyang kaum feminis di Barat. Tak pelak, gebrakannya kemudian cepat menggema ke seantero Eropa dan Amerika. Sehingga mulailah kaum wanita di Barat merasakan kebebasan dari segala ketertindasan.
Tetapi anehnya, gerakan feminis tersebut kemudian menjadi semacam “wahyu universal” dan seruan global. Keberadaannya kemudian tidak hanya di Barat sebagai tempat “asbabun nuzul” gerakan tersebut, tetapi juga hampir di seluruh negeri di dunia untuk memberlakukan konsep yang sama, meski di negeri-negeri itu tidak mengalami permasalahan sepelik wanita di Barat. Dan bahkan bisa dikatakan tidak membutuhkannya. Entah mungkin, mereka menganggap bahwa ide feminisme di Barat merupakan wahyu “rahmatan lil ‘alamin” sehingga sangat perlu untuk didakwahkan dan disebarluaskan.
Dalam hal ini dunia Islam bukanlah pengecualian, sederet nama-nama seperti Fatima Mernissi dari Maroko, Nawal al-Saadawi dari Mesir, Riffat Hassan dari Pakistan, Amina Wadud dari Amerika yang sempat membuat heboh dengan ulahnya menjadi khatib dan imam shalat Jumat di gereja beberapa waktu lalu. Juga Siti Musdah Mulia dari Indonesia, dan masih banyak lagi yang lainya. Semua dari mereka serentak mengusung gerakan feminisme.
Apakah Islam belum jelas menjamin kebebasan perempuan? Sudah jamak diketahui bahwa ‘emansipasi perempuan’ dalam sejarah peradaban manusia sebenarnya dipelopori oleh risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Kedatangan Islam telah mengeliminasi adat-istiadat Jahiliyah seperti mengubur hidup-hidup bayi perempuan, mengawini perempuan sebanyak mungkin dan menceraikannya sesuka hati, sampai program pertukaran istri-istri.
Pertanyaannya kemudian apa yang diperjuangkan gerakan feminisme di dunia Islam? Jika jawabannya adalah keadilan dan kemanusiaan, sebetulnya Islam tak perlu diajari dan didekte kembali konsep keadilan dan kemanusiaan. Islam bukan tidak mengerti masalah adil dan manusia. Tetapi memang masalahnya tidak se-standar itu, bahwa realitas gerakan feminisme memang menuntut persamaan dan kesetaraan. Kesetaraan dalam hal apa? Boleh jadi seluruhnya. Karenanya, di Barat, pegiat feminisme ini tidak hanya bertujuan untuk membebaskan hak-hak wanita, tetapi juga sebagai ajang balas dendam. Dendam kesumat terhadap kaum pria. Tercatat kaum feminis di Barat berkerja ‘mengompori’ wanita untuk meninggalkan suami mereka, mengubah wanita menjadi gila karir, menjadi lesbian, dan melakukan aborsi. Atas realitas itu, seorang penulis terkenal bernama Susan Jane Gilman, mengeluh, sebab ia menganggap bahwa gerakan feminisme tidak jelas kemana ‘juntrungnya'.
Dan di sini semakin jelas, pada beberapa dasawarsa terakhir, gerakan feminis di Barat terlihat mengalami stagmatisasi dan tampak seperti ‘kena batunya’. Sebab jika dulu Barat menindas perempuan sebebas-bebasnya, sekarang mereka justru membebaskan perempuan sebebas-bebasnya. Sama-sama ekstremnya.
Kemudian di dunia Islam mulai ramai membicarakan feminisme dan kesetaraan gender. Di Indonesia, sejak awal semisal pada masa KH. Ahmad Dahlan, wanita bebas menyelenggarakan kegiatan Aisyiyah, mereka tidak perlu menuntut adanya kesetaraan gender. Tapi kini tiba-tiba ada yang mengusulkan RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG). Maka pantas seandainya orang Jawa bertanya, “Ketemu pirang perkoro?”
Permasalahan fatal RUU tersebut sangat vital, yaitu bahwa, ketika mereka hendak mengubah konstruk sosial, agama tidak diperdulikan. Dan jika RUU ini sampai digoalkan, alamat bakal modiar. Tertulis dalam pasal 1:1 tentang definisi gender: “Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.”
Dr. Adian Husaini memberikan kritik, “Definisi gender seperti itu adalah sangat keliru. Sebab, menurut konsep Islam, tugas, peran, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki baik dalam keluarga (ruang domestik) maupun di masyarakat (ruang publik) didasarkan pada wahyu Allah, dan tidak semuanya merupakan produk budaya.”
Kembali lagi jika RUU tersebut berhasil disahkan, maka tidak hanya suami (sebagai pemimpin rumah tangga) yang berpotensi dipermasalahkan, Al-Qur’an pun dapat diperkarakan. Sebab hukum Islam dalam perkara poligami, waris, aqiqah, wali nikah, sampai imam shalat, boleh jadi akan digugat karena dianggap lebih ‘merugikan’ perempuan. Konsep keadilan feminisme tidak sebagaimana keadilan dalam Islam. Feminisme menilai adil jika di papan skor menunjukkan angka draw 50:50, sementara Islam mendefiniskan adil sebagai “menempatkan sesuatu pada tempatnya”. Karenanya, misi Islam [tidak hanya] membela wanita yang tertindas sebagaimana kaum feminis, tetapi juga mendudukkan wanita pada tempatnya, pada kodratnya.
Hal ini kiranya sangat wajar, sebab, fakta biologis menjelaskan struktur laki-laki dan perempuan berbeda dan membawa perbedaan psikologis. Karena itu sangat cerdas dan amat bijak Dr. Ratna Megawangi memberi judul pada bukunya, “Membiarkan Berbeda.”
Selain daripada itu, dalam Islam kaitannya dengan tugas-tugas dalam rumah tangga, seorang istri memiliki beberapa tanggungjawab dan kewajiban yang berbeda dari seorang suami. Islam tidak memvonis haram istri bekerja, tetapi jika dengan bekerja istri dapat menelantarkan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri (ibu), maka berlakulah kecaman Islam terhadap dirinya.
Di sinilah diperlukan keserasian dan pembagian peran dalam rumah tangga. Dan terhadap seorang perempuan, Rasulullah Saw memuliakannya dengan lebih ketika ditanya siapa yang harus dihormati. Jawaban beliau, “Ibumu, ibumu, ibumu, dan ayahmu.” Cara pandang feminisme telah salah kaprah, selama ini mereka memandang kaum pria sebagai rival dalam hal maskulin. Semestinya, kalau ingin menang dari laki-laki, tak perlu repot-repot keluar otot, cukup tantang mereka untuk berlaku feminin. Dipastikan, kaum lelaki akan mundur teratur sebelum bertanding, sebab selain bahwa menyerupai perempuan telah dikecam dalam Islam, sewaktu-waktu Satpol PP juga siap menghadang melalui operasi dan ‘obrakan’. Wallahu a’lam bish-Shawab.
_____________________________
* Daftar Bacaan: Orientalis & Diabolisme Pemikiran (Dr. Syamsuddin Arif); Misykat (Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi); www.insistnet.com
* Disampaikan di Kajian RESIST, Jumat 20 April 2012, di IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar