Kamis, 19 April 2012

Beginilah Sayyd Quthb Menolak Ditawari Pelacur





Wahai umat Muhammad, tak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah ketika melihat salah seorang hamba-Nya melakukan zina. (HR. Bukhari: 5221, Muslim: 901) 

 Semakin tinggi derajat keimanan seseorang, semakin tinggi pula ujiannya. Mungkin itulah kalimat yang pas bagi Sayyid Quthb. Doa dan goresan pengalamannya memberi pelajaran bagi kita tentang arti keimanan yang sejati. Iman yang tak tergadai meski lautan dunia sudah siap menanti.

Bayangkan di tengah ikhtiarnya untuk memperbaiki diri, ujian datang silih berganti. Sayyid Quthb yang baru saja ditolak cinta oleh pujaan hatinya untuk dipersunting menjadi istri, harus mengalami ujian sulit ketika sosok wanita cantik justru mengajaknya untuk berbuat haram lagi bersedia untuk ditiduri.

Kisah ini terjadi ketika Sayyid Quthb masih dalam perjalanan di atas kapal laut menuju Amerika, setelah ditugaskan Departemen Pendidikan Mesir meneliti di negeri Paman Sam tersebut.

Di atas kapal, orang-orang Amerika telah tahu keberadaan Sayyid. Iya, anak muda dari Kairo, pengarang buku Keadilan Sosial dalam Islam itu. Pemuda itu terkenal gigih akan perlawanannya terhadap Sekularisme, ia tidak menyetujui bahwa Agama dan Kehidupan haruslah terpisah.

Kaum Kuffar itu mengenali dengan jelas siapa pemuda berjas itu. Iya itu pasti Sayyid Quthb, tidak salah, gumam mereka. Sayyid Quthb yang terkenal seantero Mesir sebagai pemuda pintar dan soleh.

Kenapa mereka sampai ingin menjebak Sayyid Quthb? Sebab bagi bangsa jahili itu, Sayyid bisa berubah menjadi musuh Amerika setibanya di negeri Paman Sam. Didasari atas kekhawatiran itu, mereka tak hilang akal. Mereka tahu titik lemah pria pada umumnya, termasuk pria Mesir.

Orang-orang Amerika itu kemudian menyusun skenario untuk melumpunkan iman Sayyid. Mereka memperalat seorang wanita untuk membujuk dan merayunya hingga terjatuh di dalam lumpur kehina-dinaan. Hal ini justru terjadi setelah Sayyid bertekad untuk menjadi tentara Allah.

Setelah Sayyid berinteraksi dan benar-benar merasakan limpahan rahmat Allah hingga berkata: “Saya bermaksud menjadi orang kedua, yakni orang Islam yang loyal dan kukuh, dan Allah berkehendak menguji saya: apakah maksud dan niat saya ini benar, atau hanya sekedar bisikan hati saja?”

Ujian dari Allah kepadanya terjadi beberapa menit setelah Sayyid bertekad memilih jalan Islam, yakni ketika baru saja beliau memasuki kamarnya di atas kapal. Inilah ujian sesungguhnya. Ujian yang datang dari suara seseorang mengetuk pintu.

Sayyid Quthb lalu membukanya. Ia membuka pintu secara penuh ketabahan, sampai pada beberapa waktu, ternyata di hadapannya, telah berdiri seorang wanita cantik lagi semampai dan setengah telanjang dengan gaya merangsang. Sang wanita itu menyapa Sayyid lewat bahasa Inggris, "bolehkah saya menjadi tamu tuan malam ini?"

Sayyid terperangah. Ia hampir saja kalap. Namun bukan Sayyid Quthb namanya jika tidak tahu bahwa inilah jawaban yang diberikan oleh Allah ketika ia betul-betul berjanji ingin memperbaiki diri. Ia lekas mengangkat kepalanya, lalu menolak rayuan wanita itu secara halus. Namun Wanita itu bergeming. Melihat gelagat kondisi tidak berubah ke arah lebih baik, Sayyid mengatakan, “Di kamar hanya ada satu tempat tidur, maaf.”

Namun sapanyanya, mendengar jawaban Sayyid, wanita itu semakin mendesak untuk masuk. Ia bak singa lapar ingin menerkam mangsa di hadapannya lewat tampilan sensual penuh godaan. Pada titik itulah, Sayyid bersikap lebih tegas, lewat iman yang teguh, ia mengusir sang wanita itu keluar menjauh dari kamar.

Beberapa saat kemudian wanita itu terjatuh di lantai papan. Saat itu, Sayyid sadar bahwa wanita itu sedang mabuk. Inilah gadis Amerika pada umumnya. Terbetik dalam hatinya, akan wanita solehah nun jauh di ujung Kairo sana.

Begitu lulus dari ujian yang pertama, Sayyid Quthb segera mengucap: “Alhamdulillah… saya merasa bangga dan bahagia, karena saya telah berhasil memerangi hawa nafsu. Dengan demikian nafsu itu berjalan di atas jalan tekad yang saya tentukan.”

Wanita itulah senjata pertama yang dirancang Amerika untuk menggoda dan meruntuhkan iman Sayyid. Akan tetapi, Allah lebih mengetahui ketetapan jalan yang beliau pilih, yakni jalan Allah, jalan keimanan, jalan cahaya Rabbani yang terang menyala-nyala hingga Allah memberinya taufik dan pertolongan dalam memenangkan ujian itu.

Namun bukan Amerika namanya jika masih belum jera memasukkan tiap muslim ke lubang galian mereka. Lagi, mereka kembali memperalat seorang gadis guna menaklukan iman Sayyid. Mereka menguntit dari satu universitas ke universitas lain setibanya Sayyid di Amerika dan mulai bergerilya meneliti kampus-kampus di sana.

Sampai suatu ketika, datang cobaan kedua menghampiri jiwa syahdu Sayyid. Kini, seorang wanita yang berdebat dengannya tentang perlunya free sex di Institut Keguruan di Colorado dan Galersi.

Wanita itu menjelasakan tentang indahnya kehidupan seks bebas beserta segala racun dunianya. Namun lagi-lagi, godaan itu hanyalah isapan jempol semata. Sayyid bergeming dan tidak tergoda akan kenikmatan dunia fana. Ia kembali lolos lubang dari durjana.

Sudah selesaikah ujian untuk Sayyid? Ternyata tidak. Cobaan ketiga itu datang dari seorang pegawai hotel yang dengan promosi cabulnya menawarkan hostes-hostes dan wanita-wanita cantik, baik yang masih polos maupun yangover acting. Sembari menahan beratnya ujian, Sayyid hanya tersentum dan menolak tawaran memikat itu.

Bayangkan itu semua terjadi di tengah kondisi negara bebas seperti Amerika dan dalam kondisi Sayyid sedang rindu akan sosok pendamping. Tak sedikit pemuda muslim terjebak berada di sana, hanya dalam waktu satu hingga dua bulan. Padahal Sayyid berada di Amerika selama 2,5 tahun. Inilah hasil dari tarbiyah sejati dari seorang pecinta sejati, yang sejak kecil telah dididik oleh ibunya lewat untaian rabbani.

Hingga cobaan keempat itu kembali datang, kali ini seorang pemuda Arab yang mencoba mempengaruhi Sayyid dengan ceritanya tentang pergaulan bebas yang dilakukannya dengan wanita-wanita Amerika.

Pemuda itu menceritakan bak setan tengah mempengaruhi manusia untuk menjajal perilaku tercela, walau hanya sedetik berselimut syahwat jelata. Lagi-lagi, Sayyid bersyukur. Ia mengucapkan alhamdulillah, betapa Allah amat sayang kepadanya. Godaan demi godaan mampu ia tepis lewat sebongkah cahaya Iman yang terpatri dalam hati.

Ternyata itu bukan kasus terakhir, kali ini berasal dari seorang perawat ketika Sayyid sedang terbaring di rumah sakit. Perawat itu mendekati Sayyid yang tengah berbaring tak berdaya. Ia menceritakan kelebihan-kelebihan yang didamba oleh setiap laki-laki.

Juga upaya seorang mahasiswi untuk menghapus rasa jijik pada pikiran beliau terhadap hubungan seksual yang kotor. Ia menganggap bahwa hubungan seksual tidak lebih dari praktek hubungan biologis yang tidak ada alasan bagi seorang manusia untuk mencelanya, baik dari segi etika maupun lainnya. Sekali lagi, iman Sayyid sangat tebal. Itulah kunci ia mampu menjadi pria sejati walaupun hingga akhir hayat ia tidak beristri. Kebathilan demi kebathilan tersebut, tak mampu menghanyutkannya kepada dunia. Subhanallah.

Itulah Sayyid Quthb yang kelak sepulangnya dari Amerika, beliau bergabung dengan barisan Ikhwan dan disebut-sebut sebagai ideologi kedua Ikhwan sekaligus mujahid yang tercecer darah syuhada dalam hidupnya. Semoga Allah memberikan menempatkan Asy Syahid Sayyid Quthb bersama kafilah Syuhada di jannah nanti. Allahuma Aamiin.

Dari Kesetaraan Gender Hingga Satpol PP


By: Ahsan Hakim

Betapa menggegerkan, St. Albertus Magnus mendefinisikan perempuan sebagai laki-laki yang cacat sejak lahirnya, katanya. Sementara St. Jerome menganggap wanita sebagai akar dari segala kejahatan (the root of all evil). Pernyataan itu kemudian diperkuat oleh penilaian St. John Chrysostom. Ia berseloroh, “Tidak ada gunanya laki-laki menikah. Toh, perempuan itu tidak lain dan tidak lebih merupakan lawan dari persahabatan, hukuman yang tak terelakkan, kejahatan yang diperlukan, godaan alami, musuh dalam selimut, gangguan yang menyenangkan, ketimpangan tabiat, yang dipoles dengan warna yang indah.” Sehingga dengan demikian, St. Augustine menimpali, hubungan intim seorang suami dengan istrinya adalah perbuatan kotor.

Apa nggak keseleg?

Tak dapat dipungkiri bahwa kasus-kasus semisal itulah yang kemudian memunculkan gerakan feminis di Barat. Keberadaan gerakan itu merupakan respon dan reaksi terhadap situasi dan kondisi kehidupan masyarakat di sana, yang memandang ‘sebelah mata’ (misogyny) dan berbagai macam anggapan buruk (stereotype) terhadap wanita. Penyamaan citra antara wanita dengan budak (hamba sahaya) setidaknya sudah terjadi sejak zaman pra-Kristen, di antara tokoh-tokohnya adalah Plato dan Aristoteles. Kemudian di Abad Pertengahan terdapat nama St. Clement dari Alexandria, St. Agustinus dan St. Thomas Aquinas. Disusul abad modern dikenal tokoh-tokoh seperti John Locke, Rousseau hingga Nietzsche.

Merespon hal itu, muncullah Mary Wollstonecraft (1759-1797). Ia disebut-sebut sebagai nenek moyang kaum feminis di Barat. Tak pelak, gebrakannya kemudian cepat menggema ke seantero Eropa dan Amerika. Sehingga mulailah kaum wanita di Barat merasakan kebebasan dari segala ketertindasan.

Tetapi anehnya, gerakan feminis tersebut kemudian menjadi semacam “wahyu universal” dan seruan global. Keberadaannya kemudian tidak hanya di Barat sebagai tempat “asbabun nuzul” gerakan tersebut, tetapi juga hampir di seluruh negeri di dunia untuk memberlakukan konsep yang sama, meski di negeri-negeri itu tidak mengalami permasalahan sepelik wanita di Barat. Dan bahkan bisa dikatakan tidak membutuhkannya. Entah mungkin, mereka menganggap bahwa ide feminisme di Barat merupakan wahyu “rahmatan lil ‘alamin” sehingga sangat perlu untuk didakwahkan dan disebarluaskan.

Dalam hal ini dunia Islam bukanlah pengecualian, sederet nama-nama seperti Fatima Mernissi dari Maroko, Nawal al-Saadawi dari Mesir, Riffat Hassan dari Pakistan, Amina Wadud dari Amerika yang sempat membuat heboh dengan ulahnya menjadi khatib dan imam shalat Jumat di gereja beberapa waktu lalu. Juga Siti Musdah Mulia dari Indonesia, dan masih banyak lagi yang lainya. Semua dari mereka serentak mengusung gerakan feminisme.

Apakah Islam belum jelas menjamin kebebasan perempuan? Sudah jamak diketahui bahwa ‘emansipasi perempuan’ dalam sejarah peradaban manusia sebenarnya dipelopori oleh risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Kedatangan Islam telah mengeliminasi adat-istiadat Jahiliyah seperti mengubur hidup-hidup bayi perempuan, mengawini perempuan sebanyak mungkin dan menceraikannya sesuka hati, sampai program pertukaran istri-istri.

Pertanyaannya kemudian apa yang diperjuangkan gerakan feminisme di dunia Islam? Jika jawabannya adalah keadilan dan kemanusiaan, sebetulnya Islam tak perlu diajari dan didekte kembali konsep keadilan dan kemanusiaan. Islam bukan tidak mengerti masalah adil dan manusia. Tetapi memang masalahnya tidak se-standar itu, bahwa realitas gerakan feminisme memang menuntut persamaan dan kesetaraan. Kesetaraan dalam hal apa? Boleh jadi seluruhnya. Karenanya, di Barat, pegiat feminisme ini tidak hanya bertujuan untuk membebaskan hak-hak wanita, tetapi juga sebagai ajang balas dendam. Dendam kesumat terhadap kaum pria. Tercatat kaum feminis di Barat berkerja ‘mengompori’ wanita untuk meninggalkan suami mereka, mengubah wanita menjadi gila karir, menjadi lesbian, dan melakukan aborsi. Atas realitas itu, seorang penulis terkenal bernama Susan Jane Gilman, mengeluh, sebab ia menganggap bahwa gerakan feminisme tidak jelas kemana ‘juntrungnya'.

Dan di sini semakin jelas, pada beberapa dasawarsa terakhir, gerakan feminis di Barat terlihat mengalami stagmatisasi dan tampak seperti ‘kena batunya’. Sebab jika dulu Barat menindas perempuan sebebas-bebasnya, sekarang mereka justru membebaskan perempuan sebebas-bebasnya. Sama-sama ekstremnya.

Kemudian di dunia Islam mulai ramai membicarakan feminisme dan kesetaraan gender. Di Indonesia, sejak awal semisal pada masa KH. Ahmad Dahlan, wanita bebas menyelenggarakan kegiatan Aisyiyah, mereka tidak perlu menuntut adanya kesetaraan gender. Tapi kini tiba-tiba ada yang mengusulkan RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG). Maka pantas seandainya orang Jawa bertanya, “Ketemu pirang perkoro?”

Permasalahan fatal RUU tersebut sangat vital, yaitu bahwa, ketika mereka hendak mengubah konstruk sosial, agama tidak diperdulikan. Dan jika RUU ini sampai digoalkan, alamat bakal modiar. Tertulis dalam pasal 1:1 tentang definisi gender: “Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.”

Dr. Adian Husaini memberikan kritik, “Definisi gender seperti itu adalah sangat keliru. Sebab, menurut konsep Islam, tugas, peran, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki baik dalam keluarga (ruang domestik) maupun di masyarakat (ruang publik) didasarkan pada wahyu Allah, dan tidak semuanya merupakan produk budaya.”

Kembali lagi jika RUU tersebut berhasil disahkan, maka tidak hanya suami (sebagai pemimpin rumah tangga) yang berpotensi dipermasalahkan, Al-Qur’an pun dapat diperkarakan. Sebab hukum Islam dalam perkara poligami, waris, aqiqah, wali nikah, sampai imam shalat, boleh jadi akan digugat karena dianggap lebih ‘merugikan’ perempuan. Konsep keadilan feminisme tidak sebagaimana keadilan dalam Islam. Feminisme menilai adil jika di papan skor menunjukkan angka draw  50:50, sementara Islam mendefiniskan adil sebagai “menempatkan sesuatu pada tempatnya”. Karenanya, misi Islam [tidak hanya] membela wanita yang tertindas sebagaimana kaum feminis, tetapi juga mendudukkan wanita pada tempatnya, pada kodratnya.

Hal ini kiranya sangat wajar, sebab, fakta biologis menjelaskan struktur laki-laki dan perempuan berbeda dan membawa perbedaan psikologis. Karena itu sangat cerdas dan amat bijak Dr. Ratna Megawangi memberi judul pada bukunya, “Membiarkan Berbeda.”

Selain daripada itu, dalam Islam kaitannya dengan tugas-tugas dalam rumah tangga, seorang istri memiliki beberapa tanggungjawab dan kewajiban yang berbeda dari seorang suami. Islam tidak memvonis haram istri bekerja, tetapi jika dengan bekerja istri dapat menelantarkan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri (ibu), maka berlakulah kecaman Islam terhadap dirinya.

Di sinilah diperlukan keserasian dan pembagian peran dalam rumah tangga. Dan terhadap seorang perempuan, Rasulullah Saw memuliakannya dengan lebih ketika ditanya siapa yang harus dihormati. Jawaban beliau, “Ibumu, ibumu, ibumu, dan ayahmu.” Cara pandang feminisme telah salah kaprah, selama ini mereka memandang kaum pria sebagai rival dalam hal maskulin. Semestinya, kalau ingin menang dari laki-laki, tak perlu repot-repot keluar otot, cukup tantang mereka untuk berlaku feminin. Dipastikan, kaum lelaki akan mundur teratur sebelum bertanding, sebab selain bahwa menyerupai perempuan telah dikecam dalam Islam, sewaktu-waktu Satpol PP juga siap menghadang melalui operasi dan ‘obrakan’. Wallahu a’lam bish-Shawab.

_____________________________
* Daftar Bacaan: Orientalis & Diabolisme Pemikiran (Dr. Syamsuddin Arif); Misykat (Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi); www.insistnet.com
* Disampaikan di Kajian RESIST, Jumat 20 April 2012, di IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Jumat, 16 Maret 2012

Belajar Ditolak Cinta Dari Sayyid Quthb



By: Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi 

Dialah Ulama dan Mujahid yang berani mendobrak hegemoni Sosialisme Mesir. Tumbuh dalam rimba kejahillayahan modern dan bergeming untuk turut andil melestarikannya. Walau kesenangan itu sudah berada di depan matanya. Walaupun tahta sudah siap menampuk tubuhnya. Kursi-kursi dunia itu disediakan untuk Sayyid Quthb asal ia bersedia mengakui bahwa kedaulatan Islam belumlah final. Bahwa sistem buatan manusia adalah jalan suci. Parlementari merupakan paras molek membangun kejayaan hidup. Namun apa kata Sayyid? Ia menolaknya. Baginya, rasa sosialisme, nasionalisme, bahkan demokrasi lebih pahit dari kehinaan dunia: sumir!

Sayyid Quthb menolak menafsirkan kata tauhid hanya sekedar pengakuan lisan bahwa Allah adalah Tuhan. Doktor Sastra dari Darul Ulum ini mempelajari Qur’an lebih mendalam, dan ia menyimpulkan bahwa makna tauhid lebih dari itu.

Baginya tauhid sudah satu paket dengan keharusan menjalankan hukum-hukum Allah (baca: tauhid hakimiyyah) dan menolak bergabung dalam barisan oposisi tauhid. Memaknai tauhid dalam dua jurang antara al-haqq dan al-bathil yang coba disatukan adalah barisan absurditas yang sama sekali tidak akan mampu membawa Islam jaya. Meskipun itu demi “maslahat dakwah”. Sekalipun itu memakai “baju” Islam. Sayyid sudah tahu ukuran “baju” apa yang pas baginya, tidak lain adalah pengakuan Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan kewajiban untuk mengindahkan pencampuran antara hukum Allah dengan hukum positif (baca: hukum buatan manusia). Untuk menyadarkan saudara-saudaranya, sampai-sampai ia harus menulis satu bab penuh dalam buku Dirosah Islamiyah-nya, “Ambil Islam seluruhnya atau tidak sama sekali!”

Ya Sayyid Quthb, dia bukanlah ikhwan pada umumnya. Ia bukan juga ikhwan yang mudah disetir. Membolak-balik tafsir Qur’an demi tujuan dunia. Duduk satu meja dengan musuh-musuh tuhannya, dan keluar dengan titah bahwa Islam boleh disisipi dengan isme lainnya. Itu sama saja memalukan Umat Nabi Muhammad saw. Baginya, pengalaman meneliti kebobrokan sistem pendidikan dan moral di Amerika sudah memberinya kesimpulan bahwa Islam adalah satu-satunya jalan. Bagi Quthb, produk Undang-undang buatan manusia tidak akan pernah bisa sama sekali mengantarkan manusia ke jalan Tauhidullah. Parlemen adalah ruangan tergelap di dunia, dimana ketika manusia memasukinya, ia akan tersesat dan sulit untuk mencari pintu keluar.

Mesir menjadi murka. Negara dengan cap Musolini rasa Arabia itu, meminta hidup Sayyid segera diakhiri. Apapun resikonya. Sayyid adalah bedebah bagi tirani sekularisme, namun angin semilir dalam bumbu jihadi yang menyejukkan dan mustahil berganti. “Selamat datang kematian di jalan Allah, selamat datang kehidupan abadi” ucap Sayyid dalam detik-detik menjelang syahidnya di tiang gantungan.

Perjalanan Cinta Sayyid Quthb: Jatuh Bangun Menjemput Kasih Sayang Allah

Namun dalam deretan kisah heroik itu Sayyid tumbuh dalam bingkai manusia natural. Pemuda yang memiliki niat untuk menikah memang banyak, tapi menikah dengan cara Islam dan memulai prosesnya lewat jalur tunggal berupa keikhlasan sebagai manifestasi cinta kepada Allah adalah minimum. Cinta menjadi dua sisi mata uang dalam kehidupannya: kesedihan dan ketakwaan. Tapi Sayyid Quthb tetap tegar, sekalipun dirinya mengalami dua kali jatuh cinta dan dua kali patah hati.

Seperti dikutip dari berbagai penulis yang mengambil kisah kehidupan Cinta Sayyid Quthb pada sebuah tesis mengenai dirinya, kisah cinta Quthb berjalan pertama kali saat seorang gadis datang mengetuk pintu hatinya. Dialah gadis pertama yang membangkitkan kerinduan Sayyid untuk menautkan cintanya. Embun cinta itu datang dari desa kelahiran. Namun tiga tahun sejak beliau harus menjauhkan raganya dari gadis pujaan ke Kairo untuk menuntut ilmu agama, gadis tersebut ternyata memilih menyerahkan cintanya kepada orang lain. Sayyid merasa terpukul mendengar berita ini. Tak kuasa menahan sedih, seguk tangis tak terbendung. Sangat dimaklumi bagaimana rasanya merelakan kepergian embun cinta pertama yang pernah mengisi relung jiwanya, yang pernah melambungkan asa dan melejitkan potensi kebaikannya. Cinta pertama memang indah, namun sakitnya menusuk ulu hati hingga menganga.

Embun cinta kedua lahir, menyejukkan dan membangkitkan kembali kerinduaan jiwa Sayyid untuk menautkan cintanya karena kecintaan kepada Allah. Gadis kedua ini berasal dari Kairo. Mengenai gadis ini sang Sayyid pernah menggambarkan bahwa paras gadis ini tidaklah buruk namun gagal untuk dibilang cantik. Nampaknya ada pesona lain yang memikat Sayyid sehingga merindukannya. Mungkin tatapan menyejukkan yang dibawa embun cinta ini. Sayangnya, lagi-lagi takdir tidak bermurah hati dengan cinta sang Sayyid. Di hari pertunangannya, Sayyid seakan disambar petir, pasalnya gadis tersebut sambil menangis menceritakan bahwa Sayyid adalah orang kedua yang hadir dihatinya. Perkataan gadis itu seakan meruntuhkan harapan sang Sayyid untuk mendapatkan gadis yang perawan fisiknya, perawan juga hatinya.

Sayyid akhirnya memutuskan hubungan dengan gadis Kairo tersebut, pergi membawa raganya jauh dari embun cintanya. Raga Sayyid boleh saja menjauh, namun jiwanya ternyata tak mampu melepaskan pesona sang embun cinta. Selanjutnya apa yang terjadi? Sayyid tenggelam dalam penderitaan jiwa yang selalu dibawa atas nama cinta. Kesedihan bercampur kerinduan ternyata lebih menyiksa Sayyid dibanding goresan pedang yang menyayat tubuhnya. Akhirnya Sayyid mengorbankan idealismenya kemudian pergi menjemput dan rujuk kembali dengan gadis pembawa embun cinta tersebut. Namun sayang, kali ini gadis itulah yang menolak cinta sang Sayyid.

Perih bukan main gejolak rasa yang dialami Sayyid. Ada banyak puisi yang lahir dari penderitaan yang dirasakan Sayyid tersebut. Bahkan tercipta roman-roman yang merupakan bayang-bayang romansa cinta tersebut. Inilah peristiwa kedua yang membuat luka batin sang Sayyid. Saat harapannya menggantungkan cinta terputus oleh kekuasaan takdir. Menorehkan luka yang menganga menabur kepedihan.

Namun bukan Sayyid Quthb namanya bila beliau harus hancur gara-gara cintanya yang terhempas takdir. Dengan kebesaran hati dan sikap husnudzon terhadap takdir Allah, tanpa menafikkan kesedihan yang melanda hatinya, beliau berujar kepada sang Pemilik takdir “Apakah dunia tidak menyediakan gadis impianku? Ataukah pernikahan tidak sesuai dengan kondisiku?”. Saat cinta yang dirindu tak kunjung menerimanya, maka beliau menggantungkan seluruh cintanya pada Dzat yang selalu mencintainya, yang cintanya tidak akan pernah terputus, yang cintanya kekal abadi. Cintanya Allah. Ya, Allah. KepadaNyalah beliau menumpah ruahkan seluruh cinta dan mimpi-mimpinya yang tertolak takdir, sambil berlari menjemput takdirnya yang lain.

Yang luar biasa adalah, Asy-Syahid sadar dirinya berada dalam realitas. Bukan dalam dunia ideal yang melulu posesif, indah dan tanpa aral. Kalau cinta tak mau menerimanya, biarlah ia mencari energi lain yang lebih hebat dari cinta.

Ternyata energi itu tidak jauh-jauh dari kehidupannya, Allah lah Energi yang kemudian membawanya ke penjara selama 15 tahun. Dan di penjara itulah beliau dengan gemilang berhasil menulis tafsir Fi Dzhilalil Qur’an dengan cinta. Sebelum akhirnya harus meregang nyawa di tiang gantungan. Sendiri! Dengan cinta yang sudah tertumpah ruah semua untuk Rabbnya, hanya kepada Rabbnya.

Bahkan dalam novel Duri Dalam Jiwa yang ditulis Sayyid pada tahun 1947 sebelum Sayyid Quthb bergabung dalam gerakan Ikhwanul Muslimin. Sayyid sukses menunjukkan kepiawaiannya dalam mengolah kata dan menyajikan konflik yang pekat dengan empati, melibatkan ilmu jiwa dan penghayatan mendalam. Sulit untuk berhenti sejenak membacanya karena takut kehilangan feel yang telah didapat. Dalam novel ini kita diajak untuk merasai lika-liku perasaan manusia dalam mengolah suatu rasa yang disebut cinta, cinta antar manusia. Kita diajak menyelami dalamnya cinta dan kebodohan sekaligus tarikan magnetisnya. Kita diajar untuk menjadi pecinta sejati yang tidak takut untuk berproses mengubah rasa tidak suka menjadi rasa suka, benci menjadi cinta.

"...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah [2] : 216)

Begitu dalam dan lembutnya Sayyid Quthb dalam bermain kata, pembaca mungkin memerlukan pikiran jernih untuk menangkap pangkal konflik. Mengutip dari pengantar dalam buku ini, di dalam novel ini, Sayyid Quthb secara halus dan lembut mengisyaratkan betapa pentingnya arti keperawanan seorang gadis, karena begitu hal ini diragukan maka persoalan pelik pun akan muncul. Ada perasaan terhina dan luka hati bagai tertusuk duri dan dapat menjadi beban sepanjang hidup.

Membaca buku ini menjadi suatu kenikmatan tersendiri. Begitu banyak hikmah implisit dalam tiap lika-liku perasaan para tokoh yang dihadirkan: cinta, kejujuran, ketulusan, pengorbanan, kepasrahan, dan keberanian.

Problematika Cinta: Sebuah Refleksi

Kita mungkin pernah sama-sama merasakan layaknya seperti Sayyid Quthb bahwa ada suatu fase dalam hidup kita saat dimana pikiran, hati, kaki, tangan, dan jiwa kita disinggahi oleh cinta. Bahkan kita juga sempat mencicipi bagaimana segala kebahagiaan hidup ditentukan dari kesuksesan cinta dalam balutan standar manusia. Pada konten ini kemudian cinta berubah menjadi sayembara yang kerap melontarkan kata-kata penjara jiwa seperti “Hidup kita hancur tanpa keberhasilan menaklukan cinta”. Sedangkan, remaja kerap berkata, “Jika mempunyai kekasih, belajar rasanya akan lebih termotivasi”. Malah bisa jadi ada sumpah serapah yang terlontar kepada laki-laki atau perempuan yang telah mengkhianati cinta kita.Ikhwatifillah, tanpa disadari ternyata kita sudah meletakkan sesuatu yang pasti kepada manusia yang lemah, individu yang justru tak tahu masa depan itu sendiri!

Ketika kita mulai menjajakan cinta dan menggantungkan harapan cinta itu kepada manusia, yakinlah ikhwah, yang ada hanyalah kekecewaan, karena kemampuan manusia sangatlah terbatas. Ia tidak bisa memastikan, lebih-lebih menjadi penentu takdir kita. Padahal manusia tetaplah manusia dengan segala kelemahannya. Adagium, sepandai-padaninya tupai melompat akhirnya jatuh juga bukan sekedar pepatah dalam rangka mengingatkan ikhtiar manusia, karena pada kenyataannya, Allah telah menggariskan kemampuan manusia jauh sebelum adagium itu hadir. “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.”(QS. An-Nisa [4] : 28).

\“Allah telah menciptakan kalian lemah, kemudian menjadi kuat, lalu setelah kuat kalian menjadi lemah dan tua.” (QS. Rum [30] : 54).

Bahkan pada momentum ayat yang lainnya, Allah dengan terang-terangan mengidentifikasikan manusia dalam keadaan yang begitu rentan terhadap hati. Dalam surah ke 70 ayat 19, Allah berfirman: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir”,

Tidak berakhir di situ, kemudian Allahpun menjelaskan lagi perihal makhluk hidup yang akan membuat kita terangsang untuk lekas mengintropeksi diri, muhasabah, dan kembali kepada khittah kehidupan cinta, yakni firman yang berbunyi selang dua ayat berikutnya, “dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir”.

Ada banyak varian dari timbulnya problematika cinta, salah satunya bagaimana kita salah mengelola qalbu dalam cinta.Qolbu adalah wilayah yang urgen dalam kehidupan, hingga Rasulullah saw pernah mengeluarkan hadisnya yang menyentuh,

“Ketahuilah sesungguh dalam jasad ada segumpal darah. Jika ia baik seluruh jasad akan baik pula. Jika ia rusak maka seluruh jasad akan rusak. Ketahuilah bahwa itu adalah qalbu.”

Banyaknya manusia yang terpuruk dalam cinta dan dikuasai hawa nafsu tak lepas karena kita telah menggantungkah harapan kepada selain Allah. Merasa diri sombong dengan meletakkan ayat-ayat ilahi sebagai prioritas kedua dalam mengatasi permasalahan kita.


Salah Satu Kunci Kenyamanan Hidup Dimulai Dari Bagaimana Kita Mampu Membangun Suasana Hati

 Saudaraku, belajar dari kisah cinta Sayyid Quthb, percayalah bahwa hati yang cemas, kikir, gelisah, kotor, dan merasa lelah menjalani hidup, dikarenakan kita sudah meletakkan standar-standar duniawi sebagai syarat kebahagiaan hakiki. Kita rela menyiksa hidup dengan syarat-syarat wahn yang sebenarnya tak bisa kita lakukan. Kalau kita mau jujur, kesemua itu malah jauh dari sumber kebahagiaan yang sebenarnya, yakni ketenangan hati untuk bagaimana kita selalu berusaha dekat dengan Allah.

Saudaraku, Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu pernah berkata bahwa “Tidak sempurna keselamatan qalbu seorang hamba melainkan setelah selamat dari lima perkara: syirik yang menentang tauhid, bid’ah yang menyelisihi As-Sunnah, syahwat yang menyelisihi perintah, kelalaian yang menyelisihi dzikir dan hawa nafsu yang menyelisihi ikhlas.” Hamba yang memiliki qalbun salim akan selalu mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia yang mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mempersiapkan tempat di surga.

Saudaraku, salah satu kunci kenyamanan hidup dimulai dari bagaimana kita mampu membangun suasana hati. Jika hati kita ikhlash dan bersih dengan penuh ketawadhuan, sesuatu yang kita pandang hina jadi sedemikian mulia, yang tadinya kita pandang kurang ternyata teramat cukup, sesuatu yang kita lihat kecil dan tak berdaya berubah jadi sangat besar dan penuh makna, dan apa yang kita lihat sedikit, ternyata terlampau banyak. Dan itu di mulai dari bagaimana kita hanya bergantung kepada Allah dan menjadi Allah sebagai satu-satunya zat yang mampu membuat kita bangkit setelah terjatuh.

Sekarang pertanyaannya apakah kita mau melepaskan segala ukuran ideal kehidupan kita, kesombongan kita atas pilihan yang jauh dari genggaman kesanggupan kita. Kini, apakah kita juga rela berhenti sejenak melepas atribut keduniawian kita untuk menghadap one by one dengan Allah dengan berkata jujur di depan SinggasanaNya. Jika kita berani, rasakanlah ada aliran kesejukan dan ketenangan yang sebelumnya tidak kita rasakan. Ia menentramkan. Ia pun mampu merubah paradigma kita tentang cinta, hidup, dunia, ujian, dan sebagainya sama sepertia yang Sayyid Quthb rasakan. Jika kita masih bergeming, yakinlah sebenarnya itu kembali kepada diri kita pribadi.

“Maka apabila hari kiamat telah datang. Pada hari ketika manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya. Dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada tiap orang yang melihat. Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia maka sesungguh nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Rabb dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu maka sesungguh surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Naziat [79] : 34-42)

Senin, 16 Januari 2012

Melesatlah Malaikatku! (Kaos Inspiratif Windy)



Sebenarnya, saya sudah sangat bosan duduk anteng di depan monitor. Tapi malam ini, entah kenapa mata belum juga mau meram. Duduk di bawah pohon mangga depan rumah, menikmati tirisnya angin malam membuat saya ingat kejadian beberapa waktu lalu.
Siang itu saya benar-benar sedang pusing di kantor saat tiba-tiba hp yang saya taruh di meja bergetar. Saya pikir dari bos saya, eh ternyata anak saya yang menelpon.
“Assalamu’alaikum..” ucapnya membuka dialog.
Saya pun menjawab, “Wa’alaikum salam, ada apa fahd?”
Suara cengengesan terdengar dari speaker,  “Bah, ingat nggak uang kemarin abah kasih?”
            “Ingat” jawab saya.
Saya memang ingat, beberapa waktu lalu saat saya bersamanya, saya memberikan sejumlah uang padanya. Uang yang saya akui bahwa jumlahnya terlalu banyak buat anak seusia dia. Tapi saat itu saya benar-benar ingin mengetesnya. Karena yang saya tahu dia sangat pemalu dan tidak suka jajan. Bahkan saat ia kecil dia sanagat tidak suka memegang uang. Tapi ternyata,
“Uang yang abah kasih sudah aku habiskan, hehehe..” ujarnya tanpa dosa. Sontak saja mata yang tadi sudah tunduh di depan komputer tiba-tiba “on”. Pikiran pun melayang, bahkan perlahan dari balik rambut mulai muncul tanduk. Ternyata anak saya pun belum bisa dipercaya mengelola uang.
“Baru tiga hari uangnya sudah habis, memangnya kamu belikan apa?” tanya saya, dan dia pun menjawab.
“Uangnya aku belikan buku semua.”
Dalam benak saya seolah muncul kilasan malaikat yang tersenyum di bahu putraku. Mungkin benar kata orangtua, “buah jatuh nggak akan jauh dari pohonnya.” Saya senang baca buku, walau sekarang sudah banyak ngeremnya, tapi hobi beli, baca dan meminjami buku masih terus bergulir. Jadi saya pikir, ngggak salah dong kalau anak saya kemudian meneruskan hobi saya tersebut. Dan pada akhirnya saya pun cuma bisa bilang,
“Ya sudah kalau sudah habis, doain ya semoga Allah ngasih rizkiNya lagi, buat beli beli buku lagi, buat belajar lagi.”
Hati kecil ini seketika galau, “Maafkan aku nak, sejatinya aku sangat ingin bisa terus bersamamu, membimbingmu, dan belajar bersamamu. Ampuni aku yang telah melewatkan banyak sekali kesempatan untuk bersamamu. Kupercayakan kau pada ibumu, semoga dia amanah merawat dan mendidikmu.”
Melesatlahlah anakku di sirkuit ilmu tanpa finish, menyelamlah dalam kedalaman ilmu tanpa tanpa batas. Guncang penghuni Arsy dengan kefakihanmu dan tundukkan kepalamu agar ilmu itu berguna bagi sesama dan alam raya.
Karena kau malaikatku...
Bonus tambahan buatmu, kukirimkan kaos “kecil2 pinter, apalagi sudah besar” dari Tante Windy...

Semoga dihari penghakiman kelak kau tak datang kepadaku, menjotosku dan menghardikku, “Anjinglah kau ayah, kau tak pernah mendidikku, mengajariku dan mengkabarkan padaku akan dahsyatnya Azab Tuhanku..”

Jumat, 06 Januari 2012

Bapakku ‘Rebel’, Bapak ‘Rock n Roll’



Tanpa mau terjun bebas dalam perdebatan absurditas bahasa manusia (apalagi ketidakjelasan bahasa jin), gue cuma pingin memaknai Rebel/rebelity sebagai sebuah pemikiran or sikap melawan kebiasaan (tren), pokoknya out of the box deh. Kalau pinjem istilahnya Rex si Tukang Tidur sih, mungkin rebel adalah sebuah gerakan melawan arus. Jadi nggak salah juga kalau Majalah Hai beberapa tahun silam menurunkan headline “Rebel With a Cause it’s a Must”.

Cerita ini terjadi kemarin, nggak jauhlah setelah gue dipermak di acara Be 4 Man. Tapi inspirasinya justru nongol waktu kumpul di Kojo alias Kedai Kopi Ijo.

3 Hari sepulang dari Halimun Camp, gue kepikiran untuk kembali bersepeda weekend ntar. Yoi, bersepeda itu seksi alias SEhat seKali pluS Irit. Selain itu gue juga nggak mau seperti beberapa teman yang ketemuan di Kojo, yang chasingnya udah melar dan cenderung udah mau dol. Pinjem kata-katanya si Gilang sih Beuteungnya sudah bucitreuk. Hehehe…

Muter-muter gue keliling rumah, dari kamar sampe kamar mandi, dari ruang tamu sampe dapur, dari teras sampe gudang. Jangankan MTB, sepeda ontel gue aja nggak keliatan. Padahal udah gue absen satu per satu.

Gue pun ke rumah ortu. Kembali gue puterin rumah itu, tapi kedua sepeda itu nggak ketemu juga. Akhirnya gue tanya bapak gue yang lagi manggut-manggut dengerin campur sari sambil menggoreng kripik.

“Pak, tahu sepeda saya nggak?” tanya gue.
Bapak gue malah balik tanya, “Sepeda yang mana?”
Gue pun menyahut, “Sepeda gunung.”
“Oh, udah bapak kasih Lik Ali buat si Putri belajar naik sepeda.”
“Haa..” gue bengong campur bingung. Masa cewek belajar sepeda pakai sepeda cowok?
“Dipinjemin apa dikasihin?”
“Kasihin aja, ngapain juga sepeda nongkrong nggak dipakai.”

Feeling shock down, udah kaya di jepret pakai karet gelang. Pingin banget ngomong sesuatu tapi nggak bisa keluar. Kata-katanya cuma bisa keluar dalam hati,

“Haduh Bapake, itu sepeda hasil celengan gue waktu SMP yang udah gue modif total. Biaya customizingnya aja udah lebih mahal dari harga belinya dulu..”

Yowis, biarin deh gue pakai sepeda ontel aja supaya lebih unik dan klasik. Kaya GUE...

“Kalau sepeda ontelku kemana, Pak?” tanya gue lagi.
“Sepeda itu udah Bapak kasih ke Mang Udin” jawab Bapak singkat, tapi nylepet dalem banget..

Gue mulai ngatur nafas. Berat banget untuk bisa nerima kenyataan ini. Gimana nggak, hasrat yang udah terbangun di antara kami udah erat banget. Ibarat kata, udah dijepret karet gelang terus ditiban tronton yang lagi didudukin si Fajar dalam versi jumbo.

Tak kuase mulut ini berucap, cuma hati ini yang kembali bergumam dengan gaya melankolis ala lagu-lagunya ST12;

“Wahai Ayahanda apa salahku? mengapa kau lakukan semua ini padaku? Mengapa kau berikan sepedaku pada orang lain? Apalagi sepeda ontelku...oh... tahukah kau ayah pengorbananku untuk mendapatkan sepeda ontel itu? Untuk sepeda itu, terpaksa kutukar buku “Riyadh as-Shalihin” berteks arab botak, berkertas kuning milikku pada Lik Badrudin di Wonosobo sana? Kubawa ia kemari dengan kereta ekonomi dari Kutoarjo, menuruni perbukitan Dieng, melewati rentetan Pegunungan Sindoro – Sumbing? Oh ayahanda, mengapa?”

Sedih banget gue, udah kaya orang patah hati..ti..ti..

“Lha, kamu ngapain nglamun disitu?” Tanya Bapak memecah lamunan.
“Nggak apa-apa. Tadinya saya pingin naik sepeda.” Jawab gue
“Tumben..” kata Bapak singkat. Lanjutnya, “Bapak tahu kamu dapat sepeda itu susah payah. Tapi buat apa ada sepeda nongkrong nggak pernah kamu pakai, sementara ada mang udin yang tiap subuh berangkat ke pasar manggul sayuran, kadang pisang, kadang singkong ke pasar wanaherang? Udah jalanannya turun naik, becek lagi. Kalau dia pakai sepeda kan lebih gampang.”

“Duumm...” kali ini bukan hati aja yang kaya disamber kontainer. Tapi akal, perasaan, sampai terus nusuk ke tulang ubun-ubun. Ada yang beda dengan Bapak gue. Seolah gue ngeliat malaikat di bahu kanan Bapak senyum-senyum sambil kipas-kipas puas tanda kemenangan.

Ya, Bapak gue beda. Saat semua orang bekerja, menumpuk harta hanya untuk dirinya dan keluarganya. Bapak gue udah berpikir lebih jauh dari itu. Saat hampir semua orang tua mengajarkan anaknya untuk menabung, berinvestasi untuk masa depannya kelak. Bapak gue udah melangkah lebih luas dari itu. Dari adegan ini seolah dia berpesan; lakukanlah sesuatu, belilah sesuatu, pelajarilah sesuatu yang bukan hanya berguna bagi dirimu kelak, bukan hanya berguna bagi keluargamu dan keturunanmu kelak, tapi juga berguna bagi sesamamu.

Bapak gue bukan orang kaya, bahkan mungkin levelnya nggak seujung jari kelingkingnya Abu Rizal Bakrie. Tapi mental beliau, subhanallah kaya banget. Beliau juga bahkan ngga selevel dengan Abu Bakar yang dihajar orang-orang Quraish tapi justru lebih khawatir dengan keadaan Muhammad saw. Bahkan Beliupun jauh dari levelnya the MOGSAW (istilahnya Purgatory), Muhammad, yang udah mau wafat masih teriak ummati..ummati...

Beliau adalah Bapak gue... Dan gue nggak sedih karena nggak bisa bersepeda. Justru gue happy banget. Karena di batang otak gue udah tertancap dengan kokoh keyakinan bahwa yang ditanam bapak gue adalah sebuah kebaikan. Akar keyakinan dikepala pun berkata, sebatang pohon kebaikan akan berkembang menjadi 10 puluh dahan dan 70 cabang kebaikan. Dari cabang itu akan lahir puluhan, ratusan bahkan mungkin juga ribuan buah kebaikan. Apakah berhenti di situ? Nggak! Dari buah kebaikan itu akan tumbuh lagi pohon-pohon baru kebaikan. Dan makin banyak pohon kebaikan yang lahir, makin rindang dan hijaulah jagad semesta raya… (bukan ngorong jagadnya si Divan)

Gue juga ngga begitu butuh sepeda, yang gue butuhin cuma ampunan dari Dia yang punya hidup gue atas dosa-dosa yang itungannya melebihi angka dari nol ke nol lagi..yang gue butuhin cuma bersinergi dengan alam raya dan semesta, menabur berjuta manfaat buat sesama

Dear God, Thanks for my a Great Father (mom, u r very lucky!)
Wish i can be like Him (on other version), amin...
Stay Rebel, Pak.. Stay Rock n Roll

Sekelumit Sendal Jepit





Warning, ini bukan cerita tentang seorang bocah di Sulawesi sana yang terpaksa ngrasain masuk bui gara-gara sandal jepit!

Ada yang bilang dunia itu penuh dengan AMBIGU, pun DE JAVU. Ini juga yang mungkin gue rasain. Ini aseli dan  emang terjadi.

Beberapa taun yang lalu gue kenal seorang teman. Dia berkacamata, sampe sekarang pun dia masih begitu. Bedanya sekarang gue belom pernah liat dia pake clana jins lagi (piraku teu kabeli). Perkenalan kami mungkin tergolong aneh, tanpa pernah bertemu muka cuma rasa yang muncul dari goresan pena.

Beberapa lama kontak tanpa pernah bertemu, akhirnya kita pun bisa kopdar di sebuah warnet yang udah gue tinggalin. Ngobrol ke sana kemari ditemani hobi ngorongnya, hingga akhirnya waktu pun terpaksa memisahkan kita.

Orang lain mungkin akan sedih jika berpisah dengan seorang sahabatnya, tapi ini nggak berlaku buat gue. Gue nggak sedih dan sangat nggak pingin banget nangis waktu mau pisah sama dia. Why? Karena kisahnya justru mulai dari sini.

Saat dia mau pulang, nggak disangka sendal jepit swallow kebanggannya yang berwarna hijau putih raib. Udah muter-muter dicari, akhirya ketemu juga sendal itu. Tapi ternyata, entah karena feeling atau hasrat yang sudah terjalin dengan sendal itu, dia bilang, “ieu mirip, tapi lain sendal urang euy.. (ini mirip, tapi ini bukan sendal saya!)”

Gue coba bujuk dia, “udah, pake aja dulu yang ada. Mungkin sendal ini ketuker sama orang lain. Ntar kalo orangnya dateng, bisa tuker lagi” Maklum, sendal jepit kan sendal sejuta umat. Tapi ternyata dia nolak. “ini bukan sendal saya, ngapain juga ambil sendal orang lain yang mirip sendal saya?” akhirnya ujan-ujan dia pulang bertelanjang kaki alias nyeker. Buat gue, ini pemandangan aneh buat seorang yang dulu tergolong “perlente n nice looking”.

Seperti yang gue sebut di atas, kisah ini pun seolah berulang. Tapi korbannya bukan teman si pengorong itu melainkan gue sendiri.

Balik dari gunung setelah jadi korban Be A Man kemarin, hampir aja gue lupa kalo gue punya janji dengan seorang teman yang tinggal di sebuah perumahan elit. Siang itu hari hujan, tapi karena kuda jejingkrakan gue lagi pada ngopi akibat kedinginan, akhirnya gue pergi naik angkot disambung ngojeg.

Singkat kisah, sesampainya di rumah teman tersebut, ngalor-ngidul ngobrol, akhirnya gue pun pamit. Dan karena gue nggak bawa kendaraan plus ngga ada ojeg, gue terpaksa jalan dari dalam perumahan ke jalan raya. Beneran bro, cape banget bahkan sampe depan gerbang udah adzan maghrib.

Sambil melepas penat, gue sholat maghrib dulu di masjid yang nggak jauh dari jalan. Tapi alangkah kagetnya gue, habis sholat sendal kebanggan umat yang gue pake ilang. Muter-muter masjid, itu sendal kaga juga ketemu. Hampir aja niat busuk ala jin tomang merasuk masuk ke jiwa sampai kemudian niat itu keputus gara-gara malaikat di bahu kanan gue meniupkan memori masa lalu dengan teman si pengorong itu...

Senyum-senyum sendiri, akhirnya gue pulang nyeker. Persetan dengan orang-orang yang mandangin gue miris. Dangdan rapi jali tapi NYEKER.  Hahaha…

Yup, ngapain juga gue ngambil sendal orang lain yang mungkin aja lebih bagus dari sendal gue? Ngapain juga membalas kekejaman yang kita rasakan pada orang lain yang belum tentu tepat sasaran? Mungkin aja orang yang ngambil sendal gue emang butuh banget sendal atau terobsesi buanggged pingin punya sendal kaya punya gue.

Biarkanlah, karena keyakinan terdalam itu membisikkan hati gue, kalo Dia hanya memberikan musibah buat kafarat dosa-dosa gue. Karena Dia hanya akan mengambil yang buruk buat gue dan akan Dia ganti dengan yang yang lebih baik lagi selama gue masih mau berusaha seraya makin tunduk padaNya. Dan gue bersyukur pada Dia, karena gue masih punya duit buat beli sendal jepit lagi! Forza sendal jepit! Hahaha...

Tengkyu buat si pengorong for inspiring me. Tengkyu Allah udah mempertemukanku kembali dengan si pengorong itu (jangan marah ya bro, ngorong itu seksi, anugerah dan indah). Allah bless u bro... BE A REAL MAN!!