Kamis, 19 April 2012

Beginilah Sayyd Quthb Menolak Ditawari Pelacur





Wahai umat Muhammad, tak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah ketika melihat salah seorang hamba-Nya melakukan zina. (HR. Bukhari: 5221, Muslim: 901) 

 Semakin tinggi derajat keimanan seseorang, semakin tinggi pula ujiannya. Mungkin itulah kalimat yang pas bagi Sayyid Quthb. Doa dan goresan pengalamannya memberi pelajaran bagi kita tentang arti keimanan yang sejati. Iman yang tak tergadai meski lautan dunia sudah siap menanti.

Bayangkan di tengah ikhtiarnya untuk memperbaiki diri, ujian datang silih berganti. Sayyid Quthb yang baru saja ditolak cinta oleh pujaan hatinya untuk dipersunting menjadi istri, harus mengalami ujian sulit ketika sosok wanita cantik justru mengajaknya untuk berbuat haram lagi bersedia untuk ditiduri.

Kisah ini terjadi ketika Sayyid Quthb masih dalam perjalanan di atas kapal laut menuju Amerika, setelah ditugaskan Departemen Pendidikan Mesir meneliti di negeri Paman Sam tersebut.

Di atas kapal, orang-orang Amerika telah tahu keberadaan Sayyid. Iya, anak muda dari Kairo, pengarang buku Keadilan Sosial dalam Islam itu. Pemuda itu terkenal gigih akan perlawanannya terhadap Sekularisme, ia tidak menyetujui bahwa Agama dan Kehidupan haruslah terpisah.

Kaum Kuffar itu mengenali dengan jelas siapa pemuda berjas itu. Iya itu pasti Sayyid Quthb, tidak salah, gumam mereka. Sayyid Quthb yang terkenal seantero Mesir sebagai pemuda pintar dan soleh.

Kenapa mereka sampai ingin menjebak Sayyid Quthb? Sebab bagi bangsa jahili itu, Sayyid bisa berubah menjadi musuh Amerika setibanya di negeri Paman Sam. Didasari atas kekhawatiran itu, mereka tak hilang akal. Mereka tahu titik lemah pria pada umumnya, termasuk pria Mesir.

Orang-orang Amerika itu kemudian menyusun skenario untuk melumpunkan iman Sayyid. Mereka memperalat seorang wanita untuk membujuk dan merayunya hingga terjatuh di dalam lumpur kehina-dinaan. Hal ini justru terjadi setelah Sayyid bertekad untuk menjadi tentara Allah.

Setelah Sayyid berinteraksi dan benar-benar merasakan limpahan rahmat Allah hingga berkata: “Saya bermaksud menjadi orang kedua, yakni orang Islam yang loyal dan kukuh, dan Allah berkehendak menguji saya: apakah maksud dan niat saya ini benar, atau hanya sekedar bisikan hati saja?”

Ujian dari Allah kepadanya terjadi beberapa menit setelah Sayyid bertekad memilih jalan Islam, yakni ketika baru saja beliau memasuki kamarnya di atas kapal. Inilah ujian sesungguhnya. Ujian yang datang dari suara seseorang mengetuk pintu.

Sayyid Quthb lalu membukanya. Ia membuka pintu secara penuh ketabahan, sampai pada beberapa waktu, ternyata di hadapannya, telah berdiri seorang wanita cantik lagi semampai dan setengah telanjang dengan gaya merangsang. Sang wanita itu menyapa Sayyid lewat bahasa Inggris, "bolehkah saya menjadi tamu tuan malam ini?"

Sayyid terperangah. Ia hampir saja kalap. Namun bukan Sayyid Quthb namanya jika tidak tahu bahwa inilah jawaban yang diberikan oleh Allah ketika ia betul-betul berjanji ingin memperbaiki diri. Ia lekas mengangkat kepalanya, lalu menolak rayuan wanita itu secara halus. Namun Wanita itu bergeming. Melihat gelagat kondisi tidak berubah ke arah lebih baik, Sayyid mengatakan, “Di kamar hanya ada satu tempat tidur, maaf.”

Namun sapanyanya, mendengar jawaban Sayyid, wanita itu semakin mendesak untuk masuk. Ia bak singa lapar ingin menerkam mangsa di hadapannya lewat tampilan sensual penuh godaan. Pada titik itulah, Sayyid bersikap lebih tegas, lewat iman yang teguh, ia mengusir sang wanita itu keluar menjauh dari kamar.

Beberapa saat kemudian wanita itu terjatuh di lantai papan. Saat itu, Sayyid sadar bahwa wanita itu sedang mabuk. Inilah gadis Amerika pada umumnya. Terbetik dalam hatinya, akan wanita solehah nun jauh di ujung Kairo sana.

Begitu lulus dari ujian yang pertama, Sayyid Quthb segera mengucap: “Alhamdulillah… saya merasa bangga dan bahagia, karena saya telah berhasil memerangi hawa nafsu. Dengan demikian nafsu itu berjalan di atas jalan tekad yang saya tentukan.”

Wanita itulah senjata pertama yang dirancang Amerika untuk menggoda dan meruntuhkan iman Sayyid. Akan tetapi, Allah lebih mengetahui ketetapan jalan yang beliau pilih, yakni jalan Allah, jalan keimanan, jalan cahaya Rabbani yang terang menyala-nyala hingga Allah memberinya taufik dan pertolongan dalam memenangkan ujian itu.

Namun bukan Amerika namanya jika masih belum jera memasukkan tiap muslim ke lubang galian mereka. Lagi, mereka kembali memperalat seorang gadis guna menaklukan iman Sayyid. Mereka menguntit dari satu universitas ke universitas lain setibanya Sayyid di Amerika dan mulai bergerilya meneliti kampus-kampus di sana.

Sampai suatu ketika, datang cobaan kedua menghampiri jiwa syahdu Sayyid. Kini, seorang wanita yang berdebat dengannya tentang perlunya free sex di Institut Keguruan di Colorado dan Galersi.

Wanita itu menjelasakan tentang indahnya kehidupan seks bebas beserta segala racun dunianya. Namun lagi-lagi, godaan itu hanyalah isapan jempol semata. Sayyid bergeming dan tidak tergoda akan kenikmatan dunia fana. Ia kembali lolos lubang dari durjana.

Sudah selesaikah ujian untuk Sayyid? Ternyata tidak. Cobaan ketiga itu datang dari seorang pegawai hotel yang dengan promosi cabulnya menawarkan hostes-hostes dan wanita-wanita cantik, baik yang masih polos maupun yangover acting. Sembari menahan beratnya ujian, Sayyid hanya tersentum dan menolak tawaran memikat itu.

Bayangkan itu semua terjadi di tengah kondisi negara bebas seperti Amerika dan dalam kondisi Sayyid sedang rindu akan sosok pendamping. Tak sedikit pemuda muslim terjebak berada di sana, hanya dalam waktu satu hingga dua bulan. Padahal Sayyid berada di Amerika selama 2,5 tahun. Inilah hasil dari tarbiyah sejati dari seorang pecinta sejati, yang sejak kecil telah dididik oleh ibunya lewat untaian rabbani.

Hingga cobaan keempat itu kembali datang, kali ini seorang pemuda Arab yang mencoba mempengaruhi Sayyid dengan ceritanya tentang pergaulan bebas yang dilakukannya dengan wanita-wanita Amerika.

Pemuda itu menceritakan bak setan tengah mempengaruhi manusia untuk menjajal perilaku tercela, walau hanya sedetik berselimut syahwat jelata. Lagi-lagi, Sayyid bersyukur. Ia mengucapkan alhamdulillah, betapa Allah amat sayang kepadanya. Godaan demi godaan mampu ia tepis lewat sebongkah cahaya Iman yang terpatri dalam hati.

Ternyata itu bukan kasus terakhir, kali ini berasal dari seorang perawat ketika Sayyid sedang terbaring di rumah sakit. Perawat itu mendekati Sayyid yang tengah berbaring tak berdaya. Ia menceritakan kelebihan-kelebihan yang didamba oleh setiap laki-laki.

Juga upaya seorang mahasiswi untuk menghapus rasa jijik pada pikiran beliau terhadap hubungan seksual yang kotor. Ia menganggap bahwa hubungan seksual tidak lebih dari praktek hubungan biologis yang tidak ada alasan bagi seorang manusia untuk mencelanya, baik dari segi etika maupun lainnya. Sekali lagi, iman Sayyid sangat tebal. Itulah kunci ia mampu menjadi pria sejati walaupun hingga akhir hayat ia tidak beristri. Kebathilan demi kebathilan tersebut, tak mampu menghanyutkannya kepada dunia. Subhanallah.

Itulah Sayyid Quthb yang kelak sepulangnya dari Amerika, beliau bergabung dengan barisan Ikhwan dan disebut-sebut sebagai ideologi kedua Ikhwan sekaligus mujahid yang tercecer darah syuhada dalam hidupnya. Semoga Allah memberikan menempatkan Asy Syahid Sayyid Quthb bersama kafilah Syuhada di jannah nanti. Allahuma Aamiin.

Dari Kesetaraan Gender Hingga Satpol PP


By: Ahsan Hakim

Betapa menggegerkan, St. Albertus Magnus mendefinisikan perempuan sebagai laki-laki yang cacat sejak lahirnya, katanya. Sementara St. Jerome menganggap wanita sebagai akar dari segala kejahatan (the root of all evil). Pernyataan itu kemudian diperkuat oleh penilaian St. John Chrysostom. Ia berseloroh, “Tidak ada gunanya laki-laki menikah. Toh, perempuan itu tidak lain dan tidak lebih merupakan lawan dari persahabatan, hukuman yang tak terelakkan, kejahatan yang diperlukan, godaan alami, musuh dalam selimut, gangguan yang menyenangkan, ketimpangan tabiat, yang dipoles dengan warna yang indah.” Sehingga dengan demikian, St. Augustine menimpali, hubungan intim seorang suami dengan istrinya adalah perbuatan kotor.

Apa nggak keseleg?

Tak dapat dipungkiri bahwa kasus-kasus semisal itulah yang kemudian memunculkan gerakan feminis di Barat. Keberadaan gerakan itu merupakan respon dan reaksi terhadap situasi dan kondisi kehidupan masyarakat di sana, yang memandang ‘sebelah mata’ (misogyny) dan berbagai macam anggapan buruk (stereotype) terhadap wanita. Penyamaan citra antara wanita dengan budak (hamba sahaya) setidaknya sudah terjadi sejak zaman pra-Kristen, di antara tokoh-tokohnya adalah Plato dan Aristoteles. Kemudian di Abad Pertengahan terdapat nama St. Clement dari Alexandria, St. Agustinus dan St. Thomas Aquinas. Disusul abad modern dikenal tokoh-tokoh seperti John Locke, Rousseau hingga Nietzsche.

Merespon hal itu, muncullah Mary Wollstonecraft (1759-1797). Ia disebut-sebut sebagai nenek moyang kaum feminis di Barat. Tak pelak, gebrakannya kemudian cepat menggema ke seantero Eropa dan Amerika. Sehingga mulailah kaum wanita di Barat merasakan kebebasan dari segala ketertindasan.

Tetapi anehnya, gerakan feminis tersebut kemudian menjadi semacam “wahyu universal” dan seruan global. Keberadaannya kemudian tidak hanya di Barat sebagai tempat “asbabun nuzul” gerakan tersebut, tetapi juga hampir di seluruh negeri di dunia untuk memberlakukan konsep yang sama, meski di negeri-negeri itu tidak mengalami permasalahan sepelik wanita di Barat. Dan bahkan bisa dikatakan tidak membutuhkannya. Entah mungkin, mereka menganggap bahwa ide feminisme di Barat merupakan wahyu “rahmatan lil ‘alamin” sehingga sangat perlu untuk didakwahkan dan disebarluaskan.

Dalam hal ini dunia Islam bukanlah pengecualian, sederet nama-nama seperti Fatima Mernissi dari Maroko, Nawal al-Saadawi dari Mesir, Riffat Hassan dari Pakistan, Amina Wadud dari Amerika yang sempat membuat heboh dengan ulahnya menjadi khatib dan imam shalat Jumat di gereja beberapa waktu lalu. Juga Siti Musdah Mulia dari Indonesia, dan masih banyak lagi yang lainya. Semua dari mereka serentak mengusung gerakan feminisme.

Apakah Islam belum jelas menjamin kebebasan perempuan? Sudah jamak diketahui bahwa ‘emansipasi perempuan’ dalam sejarah peradaban manusia sebenarnya dipelopori oleh risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Kedatangan Islam telah mengeliminasi adat-istiadat Jahiliyah seperti mengubur hidup-hidup bayi perempuan, mengawini perempuan sebanyak mungkin dan menceraikannya sesuka hati, sampai program pertukaran istri-istri.

Pertanyaannya kemudian apa yang diperjuangkan gerakan feminisme di dunia Islam? Jika jawabannya adalah keadilan dan kemanusiaan, sebetulnya Islam tak perlu diajari dan didekte kembali konsep keadilan dan kemanusiaan. Islam bukan tidak mengerti masalah adil dan manusia. Tetapi memang masalahnya tidak se-standar itu, bahwa realitas gerakan feminisme memang menuntut persamaan dan kesetaraan. Kesetaraan dalam hal apa? Boleh jadi seluruhnya. Karenanya, di Barat, pegiat feminisme ini tidak hanya bertujuan untuk membebaskan hak-hak wanita, tetapi juga sebagai ajang balas dendam. Dendam kesumat terhadap kaum pria. Tercatat kaum feminis di Barat berkerja ‘mengompori’ wanita untuk meninggalkan suami mereka, mengubah wanita menjadi gila karir, menjadi lesbian, dan melakukan aborsi. Atas realitas itu, seorang penulis terkenal bernama Susan Jane Gilman, mengeluh, sebab ia menganggap bahwa gerakan feminisme tidak jelas kemana ‘juntrungnya'.

Dan di sini semakin jelas, pada beberapa dasawarsa terakhir, gerakan feminis di Barat terlihat mengalami stagmatisasi dan tampak seperti ‘kena batunya’. Sebab jika dulu Barat menindas perempuan sebebas-bebasnya, sekarang mereka justru membebaskan perempuan sebebas-bebasnya. Sama-sama ekstremnya.

Kemudian di dunia Islam mulai ramai membicarakan feminisme dan kesetaraan gender. Di Indonesia, sejak awal semisal pada masa KH. Ahmad Dahlan, wanita bebas menyelenggarakan kegiatan Aisyiyah, mereka tidak perlu menuntut adanya kesetaraan gender. Tapi kini tiba-tiba ada yang mengusulkan RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG). Maka pantas seandainya orang Jawa bertanya, “Ketemu pirang perkoro?”

Permasalahan fatal RUU tersebut sangat vital, yaitu bahwa, ketika mereka hendak mengubah konstruk sosial, agama tidak diperdulikan. Dan jika RUU ini sampai digoalkan, alamat bakal modiar. Tertulis dalam pasal 1:1 tentang definisi gender: “Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.”

Dr. Adian Husaini memberikan kritik, “Definisi gender seperti itu adalah sangat keliru. Sebab, menurut konsep Islam, tugas, peran, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki baik dalam keluarga (ruang domestik) maupun di masyarakat (ruang publik) didasarkan pada wahyu Allah, dan tidak semuanya merupakan produk budaya.”

Kembali lagi jika RUU tersebut berhasil disahkan, maka tidak hanya suami (sebagai pemimpin rumah tangga) yang berpotensi dipermasalahkan, Al-Qur’an pun dapat diperkarakan. Sebab hukum Islam dalam perkara poligami, waris, aqiqah, wali nikah, sampai imam shalat, boleh jadi akan digugat karena dianggap lebih ‘merugikan’ perempuan. Konsep keadilan feminisme tidak sebagaimana keadilan dalam Islam. Feminisme menilai adil jika di papan skor menunjukkan angka draw  50:50, sementara Islam mendefiniskan adil sebagai “menempatkan sesuatu pada tempatnya”. Karenanya, misi Islam [tidak hanya] membela wanita yang tertindas sebagaimana kaum feminis, tetapi juga mendudukkan wanita pada tempatnya, pada kodratnya.

Hal ini kiranya sangat wajar, sebab, fakta biologis menjelaskan struktur laki-laki dan perempuan berbeda dan membawa perbedaan psikologis. Karena itu sangat cerdas dan amat bijak Dr. Ratna Megawangi memberi judul pada bukunya, “Membiarkan Berbeda.”

Selain daripada itu, dalam Islam kaitannya dengan tugas-tugas dalam rumah tangga, seorang istri memiliki beberapa tanggungjawab dan kewajiban yang berbeda dari seorang suami. Islam tidak memvonis haram istri bekerja, tetapi jika dengan bekerja istri dapat menelantarkan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri (ibu), maka berlakulah kecaman Islam terhadap dirinya.

Di sinilah diperlukan keserasian dan pembagian peran dalam rumah tangga. Dan terhadap seorang perempuan, Rasulullah Saw memuliakannya dengan lebih ketika ditanya siapa yang harus dihormati. Jawaban beliau, “Ibumu, ibumu, ibumu, dan ayahmu.” Cara pandang feminisme telah salah kaprah, selama ini mereka memandang kaum pria sebagai rival dalam hal maskulin. Semestinya, kalau ingin menang dari laki-laki, tak perlu repot-repot keluar otot, cukup tantang mereka untuk berlaku feminin. Dipastikan, kaum lelaki akan mundur teratur sebelum bertanding, sebab selain bahwa menyerupai perempuan telah dikecam dalam Islam, sewaktu-waktu Satpol PP juga siap menghadang melalui operasi dan ‘obrakan’. Wallahu a’lam bish-Shawab.

_____________________________
* Daftar Bacaan: Orientalis & Diabolisme Pemikiran (Dr. Syamsuddin Arif); Misykat (Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi); www.insistnet.com
* Disampaikan di Kajian RESIST, Jumat 20 April 2012, di IAIN Sunan Ampel Surabaya.