Senin, 16 Januari 2012

Melesatlah Malaikatku! (Kaos Inspiratif Windy)



Sebenarnya, saya sudah sangat bosan duduk anteng di depan monitor. Tapi malam ini, entah kenapa mata belum juga mau meram. Duduk di bawah pohon mangga depan rumah, menikmati tirisnya angin malam membuat saya ingat kejadian beberapa waktu lalu.
Siang itu saya benar-benar sedang pusing di kantor saat tiba-tiba hp yang saya taruh di meja bergetar. Saya pikir dari bos saya, eh ternyata anak saya yang menelpon.
“Assalamu’alaikum..” ucapnya membuka dialog.
Saya pun menjawab, “Wa’alaikum salam, ada apa fahd?”
Suara cengengesan terdengar dari speaker,  “Bah, ingat nggak uang kemarin abah kasih?”
            “Ingat” jawab saya.
Saya memang ingat, beberapa waktu lalu saat saya bersamanya, saya memberikan sejumlah uang padanya. Uang yang saya akui bahwa jumlahnya terlalu banyak buat anak seusia dia. Tapi saat itu saya benar-benar ingin mengetesnya. Karena yang saya tahu dia sangat pemalu dan tidak suka jajan. Bahkan saat ia kecil dia sanagat tidak suka memegang uang. Tapi ternyata,
“Uang yang abah kasih sudah aku habiskan, hehehe..” ujarnya tanpa dosa. Sontak saja mata yang tadi sudah tunduh di depan komputer tiba-tiba “on”. Pikiran pun melayang, bahkan perlahan dari balik rambut mulai muncul tanduk. Ternyata anak saya pun belum bisa dipercaya mengelola uang.
“Baru tiga hari uangnya sudah habis, memangnya kamu belikan apa?” tanya saya, dan dia pun menjawab.
“Uangnya aku belikan buku semua.”
Dalam benak saya seolah muncul kilasan malaikat yang tersenyum di bahu putraku. Mungkin benar kata orangtua, “buah jatuh nggak akan jauh dari pohonnya.” Saya senang baca buku, walau sekarang sudah banyak ngeremnya, tapi hobi beli, baca dan meminjami buku masih terus bergulir. Jadi saya pikir, ngggak salah dong kalau anak saya kemudian meneruskan hobi saya tersebut. Dan pada akhirnya saya pun cuma bisa bilang,
“Ya sudah kalau sudah habis, doain ya semoga Allah ngasih rizkiNya lagi, buat beli beli buku lagi, buat belajar lagi.”
Hati kecil ini seketika galau, “Maafkan aku nak, sejatinya aku sangat ingin bisa terus bersamamu, membimbingmu, dan belajar bersamamu. Ampuni aku yang telah melewatkan banyak sekali kesempatan untuk bersamamu. Kupercayakan kau pada ibumu, semoga dia amanah merawat dan mendidikmu.”
Melesatlahlah anakku di sirkuit ilmu tanpa finish, menyelamlah dalam kedalaman ilmu tanpa tanpa batas. Guncang penghuni Arsy dengan kefakihanmu dan tundukkan kepalamu agar ilmu itu berguna bagi sesama dan alam raya.
Karena kau malaikatku...
Bonus tambahan buatmu, kukirimkan kaos “kecil2 pinter, apalagi sudah besar” dari Tante Windy...

Semoga dihari penghakiman kelak kau tak datang kepadaku, menjotosku dan menghardikku, “Anjinglah kau ayah, kau tak pernah mendidikku, mengajariku dan mengkabarkan padaku akan dahsyatnya Azab Tuhanku..”

Jumat, 06 Januari 2012

Bapakku ‘Rebel’, Bapak ‘Rock n Roll’



Tanpa mau terjun bebas dalam perdebatan absurditas bahasa manusia (apalagi ketidakjelasan bahasa jin), gue cuma pingin memaknai Rebel/rebelity sebagai sebuah pemikiran or sikap melawan kebiasaan (tren), pokoknya out of the box deh. Kalau pinjem istilahnya Rex si Tukang Tidur sih, mungkin rebel adalah sebuah gerakan melawan arus. Jadi nggak salah juga kalau Majalah Hai beberapa tahun silam menurunkan headline “Rebel With a Cause it’s a Must”.

Cerita ini terjadi kemarin, nggak jauhlah setelah gue dipermak di acara Be 4 Man. Tapi inspirasinya justru nongol waktu kumpul di Kojo alias Kedai Kopi Ijo.

3 Hari sepulang dari Halimun Camp, gue kepikiran untuk kembali bersepeda weekend ntar. Yoi, bersepeda itu seksi alias SEhat seKali pluS Irit. Selain itu gue juga nggak mau seperti beberapa teman yang ketemuan di Kojo, yang chasingnya udah melar dan cenderung udah mau dol. Pinjem kata-katanya si Gilang sih Beuteungnya sudah bucitreuk. Hehehe…

Muter-muter gue keliling rumah, dari kamar sampe kamar mandi, dari ruang tamu sampe dapur, dari teras sampe gudang. Jangankan MTB, sepeda ontel gue aja nggak keliatan. Padahal udah gue absen satu per satu.

Gue pun ke rumah ortu. Kembali gue puterin rumah itu, tapi kedua sepeda itu nggak ketemu juga. Akhirnya gue tanya bapak gue yang lagi manggut-manggut dengerin campur sari sambil menggoreng kripik.

“Pak, tahu sepeda saya nggak?” tanya gue.
Bapak gue malah balik tanya, “Sepeda yang mana?”
Gue pun menyahut, “Sepeda gunung.”
“Oh, udah bapak kasih Lik Ali buat si Putri belajar naik sepeda.”
“Haa..” gue bengong campur bingung. Masa cewek belajar sepeda pakai sepeda cowok?
“Dipinjemin apa dikasihin?”
“Kasihin aja, ngapain juga sepeda nongkrong nggak dipakai.”

Feeling shock down, udah kaya di jepret pakai karet gelang. Pingin banget ngomong sesuatu tapi nggak bisa keluar. Kata-katanya cuma bisa keluar dalam hati,

“Haduh Bapake, itu sepeda hasil celengan gue waktu SMP yang udah gue modif total. Biaya customizingnya aja udah lebih mahal dari harga belinya dulu..”

Yowis, biarin deh gue pakai sepeda ontel aja supaya lebih unik dan klasik. Kaya GUE...

“Kalau sepeda ontelku kemana, Pak?” tanya gue lagi.
“Sepeda itu udah Bapak kasih ke Mang Udin” jawab Bapak singkat, tapi nylepet dalem banget..

Gue mulai ngatur nafas. Berat banget untuk bisa nerima kenyataan ini. Gimana nggak, hasrat yang udah terbangun di antara kami udah erat banget. Ibarat kata, udah dijepret karet gelang terus ditiban tronton yang lagi didudukin si Fajar dalam versi jumbo.

Tak kuase mulut ini berucap, cuma hati ini yang kembali bergumam dengan gaya melankolis ala lagu-lagunya ST12;

“Wahai Ayahanda apa salahku? mengapa kau lakukan semua ini padaku? Mengapa kau berikan sepedaku pada orang lain? Apalagi sepeda ontelku...oh... tahukah kau ayah pengorbananku untuk mendapatkan sepeda ontel itu? Untuk sepeda itu, terpaksa kutukar buku “Riyadh as-Shalihin” berteks arab botak, berkertas kuning milikku pada Lik Badrudin di Wonosobo sana? Kubawa ia kemari dengan kereta ekonomi dari Kutoarjo, menuruni perbukitan Dieng, melewati rentetan Pegunungan Sindoro – Sumbing? Oh ayahanda, mengapa?”

Sedih banget gue, udah kaya orang patah hati..ti..ti..

“Lha, kamu ngapain nglamun disitu?” Tanya Bapak memecah lamunan.
“Nggak apa-apa. Tadinya saya pingin naik sepeda.” Jawab gue
“Tumben..” kata Bapak singkat. Lanjutnya, “Bapak tahu kamu dapat sepeda itu susah payah. Tapi buat apa ada sepeda nongkrong nggak pernah kamu pakai, sementara ada mang udin yang tiap subuh berangkat ke pasar manggul sayuran, kadang pisang, kadang singkong ke pasar wanaherang? Udah jalanannya turun naik, becek lagi. Kalau dia pakai sepeda kan lebih gampang.”

“Duumm...” kali ini bukan hati aja yang kaya disamber kontainer. Tapi akal, perasaan, sampai terus nusuk ke tulang ubun-ubun. Ada yang beda dengan Bapak gue. Seolah gue ngeliat malaikat di bahu kanan Bapak senyum-senyum sambil kipas-kipas puas tanda kemenangan.

Ya, Bapak gue beda. Saat semua orang bekerja, menumpuk harta hanya untuk dirinya dan keluarganya. Bapak gue udah berpikir lebih jauh dari itu. Saat hampir semua orang tua mengajarkan anaknya untuk menabung, berinvestasi untuk masa depannya kelak. Bapak gue udah melangkah lebih luas dari itu. Dari adegan ini seolah dia berpesan; lakukanlah sesuatu, belilah sesuatu, pelajarilah sesuatu yang bukan hanya berguna bagi dirimu kelak, bukan hanya berguna bagi keluargamu dan keturunanmu kelak, tapi juga berguna bagi sesamamu.

Bapak gue bukan orang kaya, bahkan mungkin levelnya nggak seujung jari kelingkingnya Abu Rizal Bakrie. Tapi mental beliau, subhanallah kaya banget. Beliau juga bahkan ngga selevel dengan Abu Bakar yang dihajar orang-orang Quraish tapi justru lebih khawatir dengan keadaan Muhammad saw. Bahkan Beliupun jauh dari levelnya the MOGSAW (istilahnya Purgatory), Muhammad, yang udah mau wafat masih teriak ummati..ummati...

Beliau adalah Bapak gue... Dan gue nggak sedih karena nggak bisa bersepeda. Justru gue happy banget. Karena di batang otak gue udah tertancap dengan kokoh keyakinan bahwa yang ditanam bapak gue adalah sebuah kebaikan. Akar keyakinan dikepala pun berkata, sebatang pohon kebaikan akan berkembang menjadi 10 puluh dahan dan 70 cabang kebaikan. Dari cabang itu akan lahir puluhan, ratusan bahkan mungkin juga ribuan buah kebaikan. Apakah berhenti di situ? Nggak! Dari buah kebaikan itu akan tumbuh lagi pohon-pohon baru kebaikan. Dan makin banyak pohon kebaikan yang lahir, makin rindang dan hijaulah jagad semesta raya… (bukan ngorong jagadnya si Divan)

Gue juga ngga begitu butuh sepeda, yang gue butuhin cuma ampunan dari Dia yang punya hidup gue atas dosa-dosa yang itungannya melebihi angka dari nol ke nol lagi..yang gue butuhin cuma bersinergi dengan alam raya dan semesta, menabur berjuta manfaat buat sesama

Dear God, Thanks for my a Great Father (mom, u r very lucky!)
Wish i can be like Him (on other version), amin...
Stay Rebel, Pak.. Stay Rock n Roll

Sekelumit Sendal Jepit





Warning, ini bukan cerita tentang seorang bocah di Sulawesi sana yang terpaksa ngrasain masuk bui gara-gara sandal jepit!

Ada yang bilang dunia itu penuh dengan AMBIGU, pun DE JAVU. Ini juga yang mungkin gue rasain. Ini aseli dan  emang terjadi.

Beberapa taun yang lalu gue kenal seorang teman. Dia berkacamata, sampe sekarang pun dia masih begitu. Bedanya sekarang gue belom pernah liat dia pake clana jins lagi (piraku teu kabeli). Perkenalan kami mungkin tergolong aneh, tanpa pernah bertemu muka cuma rasa yang muncul dari goresan pena.

Beberapa lama kontak tanpa pernah bertemu, akhirnya kita pun bisa kopdar di sebuah warnet yang udah gue tinggalin. Ngobrol ke sana kemari ditemani hobi ngorongnya, hingga akhirnya waktu pun terpaksa memisahkan kita.

Orang lain mungkin akan sedih jika berpisah dengan seorang sahabatnya, tapi ini nggak berlaku buat gue. Gue nggak sedih dan sangat nggak pingin banget nangis waktu mau pisah sama dia. Why? Karena kisahnya justru mulai dari sini.

Saat dia mau pulang, nggak disangka sendal jepit swallow kebanggannya yang berwarna hijau putih raib. Udah muter-muter dicari, akhirya ketemu juga sendal itu. Tapi ternyata, entah karena feeling atau hasrat yang sudah terjalin dengan sendal itu, dia bilang, “ieu mirip, tapi lain sendal urang euy.. (ini mirip, tapi ini bukan sendal saya!)”

Gue coba bujuk dia, “udah, pake aja dulu yang ada. Mungkin sendal ini ketuker sama orang lain. Ntar kalo orangnya dateng, bisa tuker lagi” Maklum, sendal jepit kan sendal sejuta umat. Tapi ternyata dia nolak. “ini bukan sendal saya, ngapain juga ambil sendal orang lain yang mirip sendal saya?” akhirnya ujan-ujan dia pulang bertelanjang kaki alias nyeker. Buat gue, ini pemandangan aneh buat seorang yang dulu tergolong “perlente n nice looking”.

Seperti yang gue sebut di atas, kisah ini pun seolah berulang. Tapi korbannya bukan teman si pengorong itu melainkan gue sendiri.

Balik dari gunung setelah jadi korban Be A Man kemarin, hampir aja gue lupa kalo gue punya janji dengan seorang teman yang tinggal di sebuah perumahan elit. Siang itu hari hujan, tapi karena kuda jejingkrakan gue lagi pada ngopi akibat kedinginan, akhirnya gue pergi naik angkot disambung ngojeg.

Singkat kisah, sesampainya di rumah teman tersebut, ngalor-ngidul ngobrol, akhirnya gue pun pamit. Dan karena gue nggak bawa kendaraan plus ngga ada ojeg, gue terpaksa jalan dari dalam perumahan ke jalan raya. Beneran bro, cape banget bahkan sampe depan gerbang udah adzan maghrib.

Sambil melepas penat, gue sholat maghrib dulu di masjid yang nggak jauh dari jalan. Tapi alangkah kagetnya gue, habis sholat sendal kebanggan umat yang gue pake ilang. Muter-muter masjid, itu sendal kaga juga ketemu. Hampir aja niat busuk ala jin tomang merasuk masuk ke jiwa sampai kemudian niat itu keputus gara-gara malaikat di bahu kanan gue meniupkan memori masa lalu dengan teman si pengorong itu...

Senyum-senyum sendiri, akhirnya gue pulang nyeker. Persetan dengan orang-orang yang mandangin gue miris. Dangdan rapi jali tapi NYEKER.  Hahaha…

Yup, ngapain juga gue ngambil sendal orang lain yang mungkin aja lebih bagus dari sendal gue? Ngapain juga membalas kekejaman yang kita rasakan pada orang lain yang belum tentu tepat sasaran? Mungkin aja orang yang ngambil sendal gue emang butuh banget sendal atau terobsesi buanggged pingin punya sendal kaya punya gue.

Biarkanlah, karena keyakinan terdalam itu membisikkan hati gue, kalo Dia hanya memberikan musibah buat kafarat dosa-dosa gue. Karena Dia hanya akan mengambil yang buruk buat gue dan akan Dia ganti dengan yang yang lebih baik lagi selama gue masih mau berusaha seraya makin tunduk padaNya. Dan gue bersyukur pada Dia, karena gue masih punya duit buat beli sendal jepit lagi! Forza sendal jepit! Hahaha...

Tengkyu buat si pengorong for inspiring me. Tengkyu Allah udah mempertemukanku kembali dengan si pengorong itu (jangan marah ya bro, ngorong itu seksi, anugerah dan indah). Allah bless u bro... BE A REAL MAN!!