Tanpa mau terjun bebas
dalam perdebatan absurditas bahasa manusia (apalagi ketidakjelasan
bahasa jin), gue cuma pingin memaknai Rebel/rebelity sebagai sebuah
pemikiran or sikap melawan kebiasaan (tren), pokoknya
out of the box
deh. Kalau pinjem istilahnya Rex si Tukang Tidur sih, mungkin rebel
adalah sebuah gerakan melawan arus. Jadi nggak salah juga kalau Majalah
Hai beberapa tahun silam menurunkan headline “Rebel With a Cause it’s a
Must”.
Cerita ini terjadi kemarin, nggak jauhlah setelah
gue dipermak di acara Be 4 Man. Tapi inspirasinya justru nongol waktu
kumpul di Kojo alias Kedai Kopi Ijo.
3 Hari sepulang dari Halimun Camp, gue kepikiran untuk kembali bersepeda
weekend ntar. Yoi, bersepeda itu seksi alias
SEhat se
Kali plu
S Irit.
Selain itu gue juga nggak mau seperti beberapa teman yang ketemuan di
Kojo, yang chasingnya udah melar dan cenderung udah mau dol. Pinjem
kata-katanya si Gilang sih
Beuteungnya sudah
bucitreuk. Hehehe…
Muter-muter
gue keliling rumah, dari kamar sampe kamar mandi, dari ruang tamu sampe
dapur, dari teras sampe gudang. Jangankan MTB, sepeda ontel gue aja
nggak keliatan. Padahal udah gue absen satu per satu.
Gue
pun ke rumah ortu. Kembali gue puterin rumah itu, tapi kedua sepeda itu
nggak ketemu juga. Akhirnya gue tanya bapak gue yang lagi
manggut-manggut dengerin campur sari sambil menggoreng kripik.
“Pak, tahu sepeda saya nggak?” tanya gue.
Bapak gue malah balik tanya, “Sepeda yang mana?”
Gue pun menyahut, “Sepeda gunung.”
“Oh, udah bapak kasih Lik Ali buat si Putri belajar naik sepeda.”
“Haa..” gue bengong campur bingung. Masa cewek belajar sepeda pakai sepeda cowok?
“Dipinjemin apa dikasihin?”
“Kasihin aja, ngapain juga sepeda nongkrong nggak dipakai.”
Feeling shock down,
udah kaya di jepret pakai karet gelang. Pingin banget ngomong sesuatu
tapi nggak bisa keluar. Kata-katanya cuma bisa keluar dalam hati,
“Haduh
Bapake, itu sepeda hasil celengan gue waktu SMP yang udah gue modif
total. Biaya customizingnya aja udah lebih mahal dari harga belinya
dulu..”
Yowis, biarin deh gue pakai sepeda ontel aja supaya lebih unik dan klasik. Kaya GUE...
“Kalau sepeda ontelku kemana, Pak?” tanya gue lagi.
“Sepeda itu udah Bapak kasih ke Mang Udin” jawab Bapak singkat, tapi nylepet dalem banget..
Gue
mulai ngatur nafas. Berat banget untuk bisa nerima kenyataan ini.
Gimana nggak, hasrat yang udah terbangun di antara kami udah erat
banget. Ibarat kata, udah dijepret karet gelang terus ditiban tronton
yang lagi didudukin si Fajar dalam versi jumbo.
Tak kuase mulut ini berucap, cuma hati ini yang kembali bergumam dengan gaya melankolis ala lagu-lagunya ST12;
“Wahai
Ayahanda apa salahku? mengapa kau lakukan semua ini padaku? Mengapa kau
berikan sepedaku pada orang lain? Apalagi sepeda ontelku...oh...
tahukah kau ayah pengorbananku untuk mendapatkan sepeda ontel itu? Untuk
sepeda itu, terpaksa kutukar buku “Riyadh as-Shalihin” berteks arab
botak, berkertas kuning milikku pada Lik Badrudin di Wonosobo sana?
Kubawa ia kemari dengan kereta ekonomi dari Kutoarjo, menuruni
perbukitan Dieng, melewati rentetan Pegunungan Sindoro – Sumbing? Oh
ayahanda, mengapa?”
Sedih banget gue, udah kaya orang patah hati..ti..ti..
“Lha, kamu ngapain nglamun disitu?” Tanya Bapak memecah lamunan.
“Nggak apa-apa. Tadinya saya pingin naik sepeda.” Jawab gue
“Tumben..”
kata Bapak singkat. Lanjutnya, “Bapak tahu kamu dapat sepeda itu susah
payah. Tapi buat apa ada sepeda nongkrong nggak pernah kamu pakai,
sementara ada mang udin yang tiap subuh berangkat ke pasar manggul
sayuran, kadang pisang, kadang singkong ke pasar wanaherang? Udah
jalanannya turun naik, becek lagi. Kalau dia pakai sepeda kan lebih
gampang.”
“Duumm...” kali ini bukan hati aja yang kaya
disamber kontainer. Tapi akal, perasaan, sampai terus nusuk ke tulang
ubun-ubun. Ada yang beda dengan Bapak gue. Seolah gue ngeliat malaikat
di bahu kanan Bapak senyum-senyum sambil kipas-kipas puas tanda
kemenangan.
Ya, Bapak gue beda. Saat semua orang bekerja,
menumpuk harta hanya untuk dirinya dan keluarganya. Bapak gue udah
berpikir lebih jauh dari itu. Saat hampir semua orang tua mengajarkan
anaknya untuk menabung, berinvestasi untuk masa depannya kelak. Bapak
gue udah melangkah lebih luas dari itu. Dari adegan ini seolah dia
berpesan; lakukanlah sesuatu, belilah sesuatu, pelajarilah sesuatu yang
bukan hanya berguna bagi dirimu kelak, bukan hanya berguna bagi
keluargamu dan keturunanmu kelak, tapi juga berguna bagi sesamamu.
Bapak
gue bukan orang kaya, bahkan mungkin levelnya nggak seujung jari
kelingkingnya Abu Rizal Bakrie. Tapi mental beliau, subhanallah kaya
banget. Beliau juga bahkan ngga selevel dengan Abu Bakar yang dihajar
orang-orang Quraish tapi justru lebih khawatir dengan keadaan Muhammad
saw. Bahkan Beliupun jauh dari levelnya the MOGSAW (istilahnya
Purgatory), Muhammad, yang udah mau wafat masih teriak ummati..ummati...
Beliau adalah Bapak gue... Dan gue nggak sedih karena nggak bisa bersepeda. Justru gue
happy
banget. Karena di batang otak gue udah tertancap dengan kokoh keyakinan
bahwa yang ditanam bapak gue adalah sebuah kebaikan. Akar keyakinan
dikepala pun berkata, sebatang pohon kebaikan akan berkembang menjadi 10
puluh dahan dan 70 cabang kebaikan. Dari cabang itu akan lahir puluhan,
ratusan bahkan mungkin juga ribuan buah kebaikan. Apakah berhenti di
situ? Nggak! Dari buah kebaikan itu akan tumbuh lagi pohon-pohon baru
kebaikan. Dan makin banyak pohon kebaikan yang lahir, makin rindang dan
hijaulah jagad semesta raya… (bukan ngorong jagadnya si Divan)
Gue
juga ngga begitu butuh sepeda, yang gue butuhin cuma ampunan dari Dia
yang punya hidup gue atas dosa-dosa yang itungannya melebihi angka dari
nol ke nol lagi..yang gue butuhin cuma bersinergi dengan alam raya dan
semesta, menabur berjuta manfaat buat sesama
Dear God, Thanks for my a Great Father (mom, u r very lucky!)
Wish i can be like Him (on other version), amin...
Stay Rebel, Pak.. Stay Rock n Roll